Kamis, 13 Maret 2008

Legenda Nama Pulau di Mentawai


Dahulu kala orang Mentawai berasal dari satu kampung, yaitu Simatalu di Siberut Utara. Di kampung itu mereka berkumpul, meski memiliki beberapa bahasa.
Konon, mereka dulunya hidup rukun dan saling menghormati satu sama lain. Namun kemudian terjadi perpecahan di antara mereka hanya karena buah sipeu, nama buah yang terdapat di Siberut Selatan. Waktu itu seorang di antara mereka pergi ke hutan dan melihat pohon sipeu. Karena pohon itu sudah berbuah, maka ia membuat lingkaran di tanah, di bawah buah pohon itu. "Semoga buah itu jatuh di lingkaran yang kubuat dan itu berarti buah itu akan menjadi milikku," katanya meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah.
Tak lama kemudian datang lagi orang yang lain. Ia melihat buah sipeu yang hampir masak. Ia juga melihat lingkaran di tanah yang baru dibuat orang lain. "Aku buat juga lingkaran di tanah, mudah-mudahan salah satu buah sipeu ini jatuh ke lingkaranku," katanya. Setelah membuat lingkaran itu ia pun kembali pulang. Esoknya laki-laki pertama kembali mendatangi tempat itu lebih awal. Ia melihat sebuah sipeu jatuh di lingkaran yang ia buat dan sebuah sipeu lagi jatuh di lingkaran lain yang dibuat orang lain. Namun sipeu yang jatuh di lingkarannya jauh lebih kecil dari sipeu yang jatuh di lingkaran lain itu.

"Sebaiknya cepat-cepat kuganti," katanya.

Maka ditaruhnya sipeu kecil ke lingkaran orang lain tersebut dan sipeu besar diambilnya dan dibawanya pulang. Tak lama kemudian datanglah orang kedua. Ia melihat sebuah sipeu kecil terletak di lingkaran yang ia bikin. Namun ia lihat jejak buah yang tercetak di sana tidak sama dengan buah itu. Jejaknya jauh lebih besar. Dilihatnya di lingkaran milik orang lain, ternyata jejaknya persis sama dengan sipeu yang ia lihat.

Ia mencoba memahami apa yang telah terjadi. Ia segera pulang membawa sipeu itu dan memakannya di rumah. Namun ia terus merenungkan apa yang sesungguhnya telah terjadi.

"Seseorang telah berlaku tidak adil," simpulnya.

Rasa dicurangi membuat hatinya tertekan dan mereka direndahkan. Akhirnya terjadilah pusabuat (perpecahan). Suatu hari pergilah ia meninggalkan kampung itu untuk mencari tempat yang baru dan di sanalah awalnya orang Mentawai memiliki tanah ulayat.

Orang yang pergi meninggalkan Simatalu berlayar dan sampailah di sebuah daerah yang belum punya nama. Karena daerah itu bermuara dua maka diberi nama "Dua Monga". Setelah diteliti dan diselidiki keadaan daerah tersebut, ternyata mereka tidak cocok dengan iklim dan cuacanya. Mereka menyimpulkan bahwa daerah itu belum sebagus Simatalu. Mereka terus melakukan pelayaran dan akhirnya singgah di satu daerah. Sebelum mereka turun, anjing yang mereka bawa turun terlebih dulu. Akhirnya daerah itu diberi nama Majojok. Setelah mereka teliti akhirnya mereka menyimpulkan daerah tersebut juga tidak bagus. Mereka kemudian berlayar kembali selama beberapa hari dan sampailah di sebuah daerah. Ketika hendak turun dari sampan, gelang salah seorang dari mereka terjatuh. Karena itu daerah tersebut diberi nama Bele Raksok (gelang jatuh). Setelah menyelidiki daerah tersebut akhirnya mereka juga menyimpulkan daerah tersebut kurang bagus. Akhirnya mereka berlayar kembali. Setelah beberapa hari berlayar sampailah mereka di sebuah tempat di Siberut Selatan. Karena pantai di daerah itu bagus dan indah serta berpasir putih, maka mereka beri nama Bulau Buggei (pasir putih). Namun setelah mereka teliti daerah itu juga mereka anggap kurang cocok, akhirnya mereka meninggalkan daerah itu. Mereka kembali berlayar dan beberapa hari kemudian berlabuh di sebuah daerah yang memiliki banyak Muntei. Akhirnya mereka memberi nama daerah itu Muntei, daerah itu terletak di Siberut Selatan. Tapi daerah ini mereka simpulkan, juga tidak cocok untuk menetap. Mereka memutuskan untuk kembali berlayar. Dalam perjalanan mereka terkadang ingin kembali ke Simatalu, tetapi itu tidak mungkin lagi.

Beberapa hari berlayar sampailah mereka di sebuah pulau yang banyak terdapat pohon Paddegat. Tempat itu mereka namakan Mapaddegat, yaitu di Sipora sekarang. Mereka kemudian berlayar lagi dan sampai di Tuapejat, Sipora. Di sana belum ada satu pun rumah, kemudian mereka tinggal di sana, membuat ladang dan menanam berbagai macam tanaman hingga tumbuh dan berkembang.

Ditulis Oleh "Anjel Rusdianto"
Tulisan ini diterbitkan di Tabloid Pualiggoubat edisi 82

Tidak ada komentar: